Minggu, 18 April 2010

MENJADI BUDAYA BARU (REFLEKSI PRIOK)

Miris, mungkin kata ini yang dapat mewakili sebuah kejadian yang sangat mengerikan beberapa waktu yang lalu di Tanjung Priok. Entah siapa yang memicu dan terlepas ada kepentingan apa dibalik itu semua, yang jelas telah terjadi sebuah tragedi kemanusiaan.
Bangsa ini yang dahulu menjunjung budaya santun dan sangat menjunjung musyawarah untuk mencapai mufakat telah meninggalkan itu semua, kini berganti dengan budaya Barbar, dimana siapa yang kuat dia yang menang.
Penyesalan itu datangnya diakhir bukan diawal. Sebelum kejadian kenapa tidak dilakukan pemufakaatan terlebih dahulu, lantas apa gunanya pemufakatan dilakukan setelah jatuh korban, bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?

Sabtu, 09 Mei 2009

Penyerahan SK CPNSD Kabupaten Kebumen formasi umum dilaksanakan kemarin Jum'at (8/5/09). Kebahagiaan terpancar dari raut muka para penerima SK tersebut. Proses panjang telah mereka lalui mulai dari seleksi Desember lalu untuk memperebutkan 314 kursi CPNS. SK yang sudah jadi sebanyak 306, empat masih dalam proses,sedangkan empat yang lainnya masih kosong karena tidak ada pendaftar.
Bupati Kebumen Mohammad Nashiruddin Al Mansyur berpesan agar para CPNS disiplin dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya, sebagai aparatur negara harus mengabdi pada rakyat dimana mereka ditempatkan. Pada pemilu Pilpres nanti diingatkan juga netralitas CPNS harus tetap dijaga. Menjadi CPNS merupakan masa percobaan sehingga diperlukan kecerdasan bertindak dan pengendalian diri dari berbagai nafsu yang dapat merusak karir. Kepada para pendidik dipesankan agar mendidik dengan kasih sayang.
Akhirnya selamat bertugas.

Rabu, 29 April 2009

SERAT KALATIDA MENEMBUS RUANG DAN WAKTU

Ranggawarsita merupakan seorang pujangga besar di Kasunanan Surakarta. Perjalanan hidupnya telah menimpa beliau sehingga mengantarkannya menjadi seorang pujangga yang mampu memasukkan nilai-nilai luhur ke dalam karya sastranya sehingga mampu tetap relevan dengan berbagai kondisi jaman. Beberapa karya beliau yang fenomenal diantaranya adalah Pustakaraja Purwa, Kalatida, Jaka Lodhang, Sabdajati, Sabdatama, Cemporet, dan Idayat Jati.
Ranggawarsita sebagai pujangga mempunyai ciri khas pada setiap karyanya, yaitu (a) purwakanti, akhiran dalam kata atau kalimat yang bersambung dengan awalan kata atau kalimat berikutnya sehingga memunculkan irama yang indah, contoh : korup kareping ngaurip, riptane si Jayengbaya; (b) sandiasma, penyamaran nama pengarang yang disisipkan dalam kalimat atau bait karyanya, contoh : baRong angGa sWarga meSi marTaya; (c) candrasangkala, memasukkan angka tahun kedalam kalimat-kalimat karya sastranya, contoh : nir sad estining urip (1860 Jw) dalam Jaka Lodhang; (c) gancaran, jarwa atau prosa yang disusun indah, contoh : alahne kandha, ana tandha, alahne tandha ana yekti, (d) memasukkan nilai sebagai nasehat yang bermutu dalam karyanya. Kesatuan inilah yang membuat karya-karya sastra Rongowarsito selain indah dalam pengolahan kata juga bernilai dengan kedalaman maknanya.
Kalatida mengungkapkan kegelisahan sang pujangga terhadap keadaan saat itu. Keadaan yang carut-marut yang dilukiskan sebagai jaman gila, dan tidak menentu. Pada kaum elit kekuasaan saling berebut kekuasaan dengan jalan menghalalkan cara. Nilai moral yang ingin diangkat tentu pada aspek kekuasaan yang membawa manusia dapat berbuat apa saja. Pada saat ini dapat dilihat bahwa orang yang sudah gila kekuasaan menghalalkan berbagai cara baik itu dengan politik uang maupun kecurangan yang dilakukan dalam pemilu legislatif. Dampak negatif dalam jangka panjang adalah lahirnya budaya baru yang menggilakan seseorang pada uang yang bersifat materi.
Pada posisi lain dapat kita lihat pada caleg-caleg yang tidak terpilih pada pemilu lalu, ada yang menarik kembali sumbangan yang telah diberikan pada masyarakat, ada yang menyegel fasilitas umum bahkan ada yang mencoba untuk bunuh diri. Ketika akal sehat ditekan oleh perasaan kecewa yang luar biasa maka logika ditekan ke alam bawah sadar sehingga memunculkan perilaku yang anti sosial. Perilaku demikian tentu ada yang berdampak pada diri sendiri dan tak jarang yang merugikan orang lain. Mawas diri yang mampu meredakan kekecewaan ini. Mengkaji segala kegagalan bukanlah berarti menyesali pada apa yang telah terjadi, namun lebih menempatkan diri pada proses belajar. Belajar tentang kegagalan berarti menyiapkan diri untuk menuai keberhasilan di masa mendatang.
Nilai yang terkandung dalam karya sastra lama ternyata memiliki tuntunan untuk menjalani kehidupan dan menghadapi semua tantangan yang ada. Ini semua menjadi bukti ketika sebuah karya sastra mempunyai nilai-nilai yang universal maka akan terus bertahan dan tak lekang ditelan jaman. Proses kontemplasi dan perenungan serta interprestasi terhadap pengalaman hidup yang akan mampu menciptakan sebuah karya yang fenomenal.

PELAJARAN BAHASA JAWA

Bahasa daerah merupakan bahasa lokal yang diakui oleh negara sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam wilayah tertentu. Bahasa daerah dalam kedudukannya sebagai bahasa pendukung dari bahasa nasional dapat memperkaya bahasa nasional, posisi demikian sangat ideal dan jangan berharap lebih untuk ini.
Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah terbesar di negeri ini, dari segi pemakainya. Suku bangsa Jawa yang mendiami pulau Jawa dan orang Jawa yang tinggal di beberapa pulau di nusantara ini masih menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi antar orang Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu bagian dari budaya Jawa mempunyai beragam dialek geografis.
Corak dan warna kebahasaan setiap daerah tersebut memiliki ciri khas tersendiri.
Keberagaman tersebut dapat dikatakan sebagai kekayaan bahasa Jawa. Setiap daerah di Jawa mempunyai dialek dan logat sendiri, kita kenal dialek Bayumas, Tegal, Jawa Timuran dan Jogja-Solo. Masing-masing daerah mempunyai masyarakat pendukung dengan kebanggaan tersendiri untuk membawakannya.
Keberagaman ini cukup pantaslah untuk dihargai, sepantaslah bila ego pribadi atau kelompok dihilangkan yang seharusnya dimunculkan adalah semangat toleransi. Bahasa Jawa bukan merupakan bahasa nasional, dengan demikian semangat untuk membuat sebuah standarisasi kebahasaan dilunturkan. Masyarakat pendukungnya tentu akan jengah, yang pada akhirnya akan menimbulkan sesuatu yang kontra produktif.
Pelajaran Bahasa Jawa sebagai muatan lokal diharapkan dapat membuka wawasan tentang keberagaman ini. Pendidikan sebagai proses pendewasaan, maka dengan pemuatan muatan lokal yang bersifat kedaerahan dapat membuka cakrawala pandang terhadap budayanya sendiri. Tata nilai budaya Jawa yang sifatnya universal harus lebih dikedepankan sehingga dapat memunculkan cara berpikir secara lokal untuk bertindak secara global. Nantinya manusia Jawa dengan kepribadian dan karakter yang nJawani dapat dikenal sebagai sebuah identitas.

Rabu, 22 April 2009

KOMUNIKASI BUDAYA

Kita saat ini berdiri pada suatu masa yang menempatkan teknologi informasi menjadi kebutuhan pokok. Jarak tidak lagi mengekang untuk melakukan komunikasi. Globalisasi mendorong manusia untuk hidup pada budaya global yang bersifat universal.
Bangsa ini sebagai individu mempunyai nilai budayanya sendiri. Majapahit dan Sriwijaya pernah membuktikan eksistensi bangsa ini. Mereka pernah menyatukan wilayah nusantara ini. Sebagai bangsa yang berdiri sendiri tidak dapat dipungkiri bila bangsa ini pernah diwarnai oleh budaya luar. Kecerdasan (local genius) yang dimiliki tidak melunturkan tata nilai yang telah ada, namun budaya luar itu dapat terakulturasi, sehingga budaya asli masih menampakkan cirinya.
Bangsa ini sejak dahulu hingga sekarang merupakan masyarakat yang dinamis, kritis serta santun, dan bukan masyarakat yang apatis dan statis. Mereka menerima setiap kebudayaan yang masuk dan mengolahnya kembali sehingga tata nilai yang ada tidak luntur begitu saja. Cipta, rasa dan karsa memungkinkan bangsa ini dapat mengembangkan kebudayaan sehingga dapat mengadakan reaktualisasi kebudayaan.
Bangsa ini terdiri dari ribuan kebudayaan, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Suku jawa merupakan salah satu masyarakat yang paling besar komunitasnya di Indonesia telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Mulai dari masa animisme dan dinamisme di masa prasejarah dimana kepercayaan pada roh-roh halus masih bertahan hingga sekarang ini. Proses akulturasi terjadi pada masa kedatangan Hindu Budha, dari masyarakat animisme beralih kepada masyarakat beragama dengan tata nilai baru. Budaya yang masuk tentu ada nilai yang tidak cocok, klas atau kasta yang diikat kuat dalam kebudayaan Hindu Budha. Hal ini terbentur dengan tata nilai yang santun maka klas atau kasta ini tidak berlaku mutlak.
Epos Mahabarata menjadi bukti bahwa orang Jawa memiliki kecerdasan lokal yang mampu memadukan nilai yang masuk dengan nilai yang sudah menjadi identitas, sehingga muncul epos tersebut yang Jawa-ni.
Pada saat budaya Islam masuk maka budaya yang telah ada sebelumnya teraktualisasi dengan nilai baru. Muncul kemudian Layang Kalima Sada dalam pakeliran Jawa. Para wali-lah yang menjadi pemandu masuknya pengaruh Islam masuk dalam budaya Jawa.
Warna dan mewarnai, inilah yang sebenarnya terjadi dalam komunikasi antar budaya. Nilai yang ada dalam budaya menjadi pegangan sehingga jati diri sebuah budaya tidak akan hilang ketika budaya lain masuk.

MEI MIRIS

Wektu iku sasine mei
tanggalane madya,
lelungguhan ing lincak gapuk,
ngenteni kenyo klambi kuning,
ati tanpo rasa, pupus luluh

Wayah cedhak surup,
sliramu ora katon,
critamu sing nemtremke dak tunggu

Kowe duwe janji,
nanging mung manising lathi.
Olehmu nandur ringin ngrembaka mateni

Lumaku wayah surup,
malah murup, kobar
mbabar crita anyar

Golek slamet, nggowo milike liyan,
Ora petung olo becik,
Kabeh dadi brandal

Kuthaku ajur remuk,
atiku miris, nangis ora kuwawa.


27/07/1998

SKAK

Skak!
pion-pion manggon ana ngarep
beteng, jaran, mentri lan ster nang burine

Skak!
Pion bukak dalan
penggedhene nuthuki banjure

Skak!
Pion mlaku maju tanpo mundur
petungane mati opo urip

Skak!
Beteng nggaris tanpo winates
jaran mlayu sak karepe
Memtri miring dhewe
patihe lumaku sak karepe dhewe
ratune ndepis nang pojokan ireng

Skak!
Skak!
Skak!
Bola-bali mung skak.


September, 1996

Kebak Luh

Critaku dak pupus semene

Peteng dhedet
kahanan soyo ruwet

Si thole mringis
embuh nangis opo nyekikik
iki sing riwil
secuwil crita kang rumpil

Podho nangis, kebak luh
dadi crita ngegirisi


Jogja, 27/07/1998

Jumat, 17 April 2009

KESUSASTRAAN JAWA

Sastra merupakan seni yang menggunakan media bahasa sebagai medianya, sehingga dapat disebut sastra merupakan seni bahasa. Sastra akan terus hidup ketika bahasa sebagai representasi komunikasi kelompok tertentu masih terus digunakan. Kesusastraan akan mati manakala bahasa sebagai medianya tidak lagi digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Sehingga ketakutan akan punahnya kesusastraan Jawa itu tidak beralasan.
Bahasa Jawa dalam kesusastraan mempunyai perjalanan sejarah yang panjang, mulai dari abad ke 8 hingga kini mengalami beberapa periode perkembangan. Periodisasi kesusastraan Jawa ini dapat dibedakan berdasarkan ciri idiometrik yang khas dan lingkungan yang berbeda-beda dari para pujangganya. Periodisasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Kesusastraan Jawa Kuno
Bahasa Jawa Kuno digunakan dalam prasasti-prasasti kerajaan sekitar abad ke 8 hingga abad ke 10. Selain itu nampak juga dalam naskah-naskah sastra Jawa Kuno yang kebanyakan ditulis di Jawa Timur. Kedatangan agama Islam di Jawa, maka sekitar abad ke 14 kesusastraan Jawa Kuno ini ditulis di Bali dan Lombok, dan selanjutnya menjadi semakin mantap di pulau Bali pada abad ke 16.
2. Kesusastraan Jawa Islam
Pengaruh Islam yang dibawa oleh para saudagar Gujarat berpengaruh pula terhadap kebudayaan Jawa sehingga warna kesusastraanpun berubah dari corak Hindu ke Islam. Hal ini terjadi sekitar acd ke 16 hingga abad ke 18. Kesusastraan Jawa Islam ini tumbuh subur diwilayah pesisir utara pulau Jawa, terutama di Demak, Kudus, Gresik dan Cirebon.
3. Kesusastraan Kerajaan Mataram
Kesusastraan pada masa kerajaan Mataram ini berkembang sekitar abad ke 18 hingga 19. Akhir masa kesusastraan Mataram ini ditutup oleh pujangga besar Ronggowarsito.
4. Kesusastraan Jawa Modern
Kesusastraan Jawa masa kini atau Jawa modern mulai muncul sekitar tahun 1920an atau pada era Balai Pustaka. Pengaruh barat yang pada saat itu dibawa oleh Belanda masuk juga kedalam kesusastraan Jawa. Ciri yang paling mencolok adalah kemunculan bentuk kesusastraan prosa (gancaran) dan puisi baru (geguritan) menggantikan dominasi puisi tradisional (macapat) yang terikat oleh aturan yang ketat. Kemunculan kesusastraan Jawa modern ditandai dengan munculan novel yang berjudul Serat Riyanto karangan R.B. Soelardi.
Kesusastraan Jawa sebagai representasi kebudayaan masyarakat Jawa tidak akan punah selama masyarakat pendukung bahasa Jawa sebagai sarana sastra Jawa masih menggunakan bahasanya. Bagaimanapun tidak akan mungkin kesusastraan Jawa akan menyamai sastra Indonesia. Persinggungan antara keduanya akan memperkaya dan memberi warna baru baik pada sastra Indonesia dan sastra Jawa.

Senin, 30 Maret 2009

PEMILU PROSES PENDEWASAANKAH ?

Pendidikan merupakan proses pendewasaan, karena disini yang diharapkan adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Kalau dikatakan bahwa PEMILU merupakan sarana pendidikan demokrasi dan sarana untuk meyalurkan aspirasi, apakah sudah demikian adanya?
Bangsa ini telah mengalami perjalanan yang panjang. Beberapa kali telah melakukan PEMILU. Sangat menarik fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, begitu banyak kontestan peserta PEMILU 2009 dan banyak caleg yang muncul serta banyak janji yang ditawarkan. Bila ini semua terus berlanjut akan membingungkan, sehingga menumbuhkan rasa apatis dimasyarakan dan mungkin saja berdampak pada terhadap antusiasme penyaluran aspirasi masyarakat. Kalau demikian halnya maka proses jalannya PEMILU tidak seperti yang diharapkan.
Pada tingkat elit lebih parah lagi, dengan berbagai cara bahkan saling sikutpun dilakukan untuk memenuhi ambisi pribadi. Ini tentu dapat berimplikasi ke bawah pada pemilih yang fanatik yang dapat mengakibatkan konflik horisontal. Belum lagi diinternal partai yang kadang tidak aspiratif menimbulkan konflik vertikal.